BAB I
PENDAHULUAN
ü Latar Belakang
·
FISIOLOGI
IMUNOLOGI
Imunologi
adalah cabang yang luas dari ilmu biomedis yang mencakup studi tentang semua
aspek dari sistem kekebalan tubuh dalam semua organisme. Ini berkaitan dengan,
antara lain, fungsi fisiologis dari sistem kekebalan tubuh dalam keadaan kesehatan
dan penyakit, malfungsi sistem kekebalan tubuh pada gangguan imunologi
(penyakit autoimun, hypersensitivities, defisiensi imun, penolakan
transplantasi), kimia, fisik dan fisiologis karakteristik komponen dari sistem
kekebalan tubuh secara in vitro, in situ, dan in vivo. Imunologi memiliki
aplikasi dalam beberapa disiplin ilmu pengetahuan, dan dengan demikian dibagi
lagi.
Bahkan sebelum konsep kekebalan
(dari''immunis'', bahasa Latin untuk "dibebaskan") dikembangkan,
banyak dokter awal dicirikan organ yang nantinya akan terbukti menjadi bagian
dari sistem kekebalan tubuh. Organ limfoid kunci utama dari sistem kekebalan
tubuh yang timus dan sumsum tulang, dan jaringan limfatik sekunder seperti
limpa, tonsil, pembuluh getah bening, kelenjar getah bening, kelenjar gondok,
dan kulit. Ketika kondisi kesehatan menjamin, organ-organ sistem kekebalan
tubuh termasuk timus, limpa, sumsum tulang porsi, kelenjar getah bening dan
jaringan getah bening sekunder dapat pembedahan dikeluarkan untuk pemeriksaan
sementara pasien masih hidup.
BAB II
PEMBAHASAN
v
MEKANISME
PERTAHANAN
Banyak komponen dari sistem
kekebalan tubuh sebenarnya seluler di alam dan tidak berhubungan dengan organ
tertentu melainkan tertanam atau beredar di berbagai jaringan di seluruh tubuh.
Respons imun adalah respons
tubuh berupa suatu urutan kejadian yang kompleksterhadap antigen, untuk
mengeliminasi antigen tersebut. Respons imun ini dapat melibatkan berbagai
macam sel dan protein, terutama sel makrofag, sel limfosit, komplemen, dansitokin
yang saling berinteraksi secara kompleks. Mekanisme pertahanan tubuh terdiri
atas mekanisme pertahanan non spesifik dan mekanisme pertahanan spesifik.
Substansi asing yang bertemu
dengan system itu bekerja sebagai antigen, anti melawan, + genin menghasilkan.
Contohnya jika terjadi suatu substansi terjadi suatu respon dari tuan rumah,
respon ini dapat selular, humoral atau keduanya. Antigen dapat utuh seperti sel
bakteri sel tumor atau berupa makro molekul, seperti protein, polisakarida atau
nucleoprotein. Pada keadaan apa saja spesitas respon imun secara relatif
dikendalikan oleh pengaruh molekuler kecil dari antigendetenniminan antigenic
untuk protein dan polisakarida, determinan antigenic terdiri atas empat sampai
enam asam amino atau satuan monosa karida. Jika komplek antigen Yang memiliki
banyak determinan misalnya sel bakteri akan membangkitkan satu spectrum respon
humoral dan selular. Antibodi, disebut juga imunoglobulin adalah glikkoprotein
plasma yang bersirkulasi dan dapat berinteraksi secara spesifik dengan
determinan antigenic yang merangsang pembentukan antibody, antibody
disekresikan oleh sel plasma yang terbentuk melalui proliferasi dan
diferensiasi limfosit B. Pada manusia ditemukan lima kelas imunoglobulin, Ig.G,
terdiri dari dua rantai ringan yang identik dan dua rantai berat yang identik
diikat oleh ikatan disulfida dan tekanan non kovalen. Ig G merupakan kelas yang
paling banyak jumlahnya, 75 % dari imunoglobulin serum IgG bertindak sebagai
suatu model bagi kelas-kelas yang lain.
Adjuvant Senyawa yang jika
dicampur dengan imunogen meningkatkan respon imun terhadap imunogen : BCG,
FCA, LPS, suspensi AL(OH)3.
Imunogen senyawa yang mampu
menginduksi respon imun Hapten: Molekul kecil yang tidak mampu
menginduksi respon imun dalam keadaan murni, namun bila berkonyugasi dengan
protein tertentu (carrier) atau senyawa BM besar dapat menginduksi
respon imun.
Epitop atau Antigenik Determinan
:Unit terkecil dari suatu antigen yang mampu berikatan dengan antibodi atau
dengan reseptor spesifik pada limfosit.
§
Mekanisme pertahanan tubuh
1.
Mekanisme pertahanan non spesifik disebut juga komponen nonadaptif atau innate,
atau imunitas alamiah, artinya mekanisme pertahanan yang tidak ditujukan hanya
untuk satu jenis antigen, tetapi untuk berbagai macam antigen. Imunitas alamiah
sudah ada sejak bayi lahir dan terdiri atas berbagai macam elemen non spesifik.
Jadi bukan merupakan pertahanan khusus untuk antigen tertentu.
2. Mekanisme pertahanan tubuh spesifik atau
disebut juga komponen adaptif atau imunitas didapat adalah mekanisme
pertahanan yang ditujukan khusus terhadap satu jenis antigen, karena itu tidak
dapat berperan terhadap antigen jenis lain. Bedanya dengan pertahanan tubuh non
spesifik adalah bahwa pertahanan tubuh spesifik harus kontak atau ditimbulkan
terlebih dahulu oleh antigen tertentu, baru ia akan terbentuk. Sedangkan
pertahanan tubuh non spesifik sudah ada sebelum ia kontak dengan antigen.
Ø Mekanisme
Pertahanan Non Spesifik
Dilihat dari caranya diperoleh,
mekanisme pertahanan non spesifik disebut juga respons imun alamiah. Yang
merupakan mekanisme pertahanan non spesifik tubuh kita adalah kulit dengan
kelenjarnya, lapisan mukosa dengan enzimnya, serta kelenjar lain dengan
enzimnya seperti kelenjar air mata. Demikian pula sel fagosit (sel makrofag,
monosit, polimorfonuklear) dan komplemen merupakan komponen mekanisme
pertahanan non spesifik.
Permukaan tubuh, mukosa dan kulit
Permukaan tubuh merupakan
pertahanan pertama terhadap penetrasi mikroorganisme. Bila penetrasi
mikroorganisme terjadi juga, maka mikroorganisme yang masuk akan berjumpa
dengan pelbagai elemen lain dari sistem imunitas alamiah.
Kelenjar dengan enzim dan silia yang ada
pada mukosa dan kulit
Produk kelenjar menghambat
penetrasi mikroorganisme, demikian pula silia pada mukosa. Enzim seperti
lisozim dapat pula merusak dinding sel mikroorganisme.
Komplemen dan makrofag
Jalur alternatif komplemen dapat
diaktivasi oleh berbagai macam bakteri secara langsung sehingga eliminasi
terjadi melalui proses lisis atau fagositosis oleh makrofag atau leukosit yang
distimulasi oleh opsonin dan zat kemotaktik, karena sel-sel ini mempunyai
reseptor untuk komponen komplemen (C3b) dan reseptor kemotaktik. Zat kemotaktik
akan memanggil sel monosit dan polimorfonuklear ke tempat mikroorganisme dan memfagositnya.
Protein fase akut
Protein fase akut adalah protein
plasma yang dibentuk tubuh akibat adanya kerusakan jaringan. Hati merupakan
tempat utama sintesis protein fase akut. C-reactive protein (CRP)
merupakan salah satu protein fase akut. Dinamakan CRP oleh karena pertama kali
protein khas ini dikenal karena sifatnya yang dapat mengikat protein C dari
pneumokok. Interaksi CRP ini juga akan mengaktivasi komplemen jalur alternatif
yang akan melisis antigen.
Sel ‘natural killer’ (NK) dan interferon
Sel NK adalah sel limfosit yang
dapat membunuh sel yang dihuni virus atau sel tumor. Interferon adalah zat yang
diproduksi oleh sel leukosit dan sel yang terinfeksi virus, yang bersifat dapat
menghambat replikasi virus di dalam sel dan meningkatkan aktivasi sel NK.
Ø Mekanisme
Pertahanan Spesifik
Bila pertahanan non spesifik
belum dapat mengatasi invasi mikroorganisme maka imunitas spesifik akan
terangsang. Mekanisme pertahanan spesifik adalah mekanisme pertahanan yang
diperankan oleh sel limfosit, dengan atau tanpa bantuan komponen sistem imun
lainnya seperti sel makrofag dan komplemen. Dilihat dari caranya diperoleh maka
mekanisme pertahanan spesifik disebut juga respons imun didapat.
Imunitas spesifik hanya
ditujukan terhadap antigen tertentu yaitu antigen yang merupakan ligannya. Di
samping itu, respons imun spesifik juga menimbulkan memori imunologis yang akan
cepat bereaksi bila host terpajan lagi dengan antigen yang sama di kemudian
hari. Pada imunitas didapat, akan terbentuk antibodi dan limfosit efektor yang
spesifik terhadap antigen yang merangsangnya, sehingga terjadi eliminasi
antigen. Sel yang berperan dalam imunitas didapat ini adalah sel yang
mempresentasikan antigen (APC = antigen presenting cell = makrofag)
sel limfosit T dan sel limfosit B. Sel limfosit T dan limfosit B masing-masing
berperan pada imunitas selular dan imunitas humoral. Sel limfosit T akan
meregulasi respons imun dan melisis sel target yang dihuni antigen. Sel
limfosit B akan berdiferensiasi menjadi sel plasma dan memproduksi antibodi
yang akan menetralkan atau meningkatkan fagositosis antigen dan lisis antigen
oleh komplemen, serta meningkatkan sitotoksisitas sel yang mengandung antigen
yang dinamakan proses antibody dependent cell mediated cytotoxicy
(ADCC). Limfosit berperan utama dalam respon imun diperantarai sel. Limfosit
terbagi atas 2 jenis yaitu Limfosit B dan Limfosit T. Berikut adalah perbedaan
antara Limfosit T dan Limfosit B.
Limfosit B
|
Limfosit T
|
Dibuat di sumsum tulang yaitu sel batang yang
sifatnya pluripotensi(pluripotent stem cells) dan dimatangkan di sumsum
tulang(Bone Marrow)
|
Dibuat di sumsum tulang dari sel batang yang
pluripotensi(pluripotent stem cells) dan
dimatangkan di Timus
|
Berperan dalam imunitas humoral
|
Berperan dalam imunitas selular
|
Menyerang antigen yang ada di cairan antar sel
|
Menyerang antigen yang berada di dalam sel
|
Terdapat 3 jenis sel Limfosit B
yaitu :
·
· Limfosit B memori, menyimpan mengingat
antigen yang pernah masuk ke dalam tubuh
|
Terdapat 3 jenis Limfosit T
yaitu:
·
· Limfosit T surpressor (Surpressor T cells),
berfungsi menurunkan dan menghentikan respon imun jika infeksi berhasil
diatasi
|
Imunitas selular
Imunitas selular adalah imunitas
yang diperankan oleh limfosit T dengan atau tanpa bantuan komponen sistem imun
lainnya. Limfosit T adalah limfosit yang berasal dari sel pluripotensial yang
pada embrio terdapat pada yolk sac; kemudian pada hati dan limpa, lalu
pada sumsum tulang. Dalam perkembangannya sel pluripotensial yang akan menjadi
limfosit T memerlukan lingkungan timus untuk menjadi limfosit T matur.
Di dalam timus, sel prekusor
limfosit T akan mengekspresikan molekul tertentu pada permukaan membrannya yang
akan menjadi ciri limfosit T. Molekul-molekul pada permukaan membran ini
dinamakan juga petanda permukaan atau surface marker, dan dapat
dideteksi oleh antibodi monoklonal yang oleh WHO diberi nama dengan huruf CD,
artinya cluster of differentiation. Secara garis besar, limfosit T
yang meninggalkan timus dan masuk ke darah perifer (limfosit T matur) terdiri
atas limfosit T dengan petanda permukaan molekul CD4 dan limfosit T dengan
petanda permukaan molekul CD8. Sel limfosit CD4 sering juga dinamakan sel T4
dan sel limfosit CD8 dinamakan sel T8 (bila antibodi monoklonal yang dipakai
adalah keluaran Coulter Elektronics).
Di samping munculnya petanda
permukaan, di dalam timus juga terjadi penataan kembali gen (gene
rearrangement) untuk nantinya dapat memproduksi molekul yang merupakan
reseptor antigen dari sel limfosit T (TCR). Jadi pada waktu meninggalkan timus,
setiap limfosit T sudah memperlihatkan reseptor terhadap antigen diri (self
antigen) biasanya mengalami aborsi dalam timus sehingga umumnya limfosit
yang keluar dari timus tidak bereaksi terhadap antigen diri.
Secara fungsional, sel limfosit
T dibagi atas limfosit T regulator dan limfosit T efektor. Limfosit T regulator
terdiri atas limfosit T penolong (Th = CD4) yang akan menolong meningkatkan
aktivasi sel imunokompeten lainnya, dan limfosit T penekan (Ts = CD8) yang akan
menekan aktivasi sel imunokompeten lainnya bila antigen mulai tereliminasi.
Sedangkan limfosit T efektor terdiri atas limfosit T sitotoksik (Tc = CD8) yang
melisis sel target, dan limfosit T yang berperan pada hipersensitivitas lambat
(Td = CD4) yang merekrut sel radang ke tempat antigen berada.
Ø Pajanan
antigen pada sel T
Umumnya antigen bersifat
tergantung pada sel T (TD = T dependent antigen), artinya
antigen akan mengaktifkan sel imunokompeten bila sel ini mendapat bantuan dari
sel Th melalui zat yang dilepaskan oleh sel Th aktif. TD adalah antigen yang
kompleks seperti bakteri, virus dan antigen yang bersifat hapten. Sedangkan
antigen yang tidak tergantung pada sel T (TI = T independent
antigen) adalah antigen yang strukturnya sederhana dan berulang-ulang,
biasanya bermolekul besar.
Limfosit Th umumnya baru
mengenal antigen bila dipresentasikan bersama molekul produk MHC (major
histocompatibility complex) kelas II yaitu molekul yang antara lain
terdapat pada membran sel makrofag. Setelah diproses oleh makrofag, antigen
akan dipresentasikan bersama molekul kelas II MHC kepada sel Th sehingga
terjadi ikatan antara TCR dengan antigen. Ikatan tersebut terjadi sedemikian
rupa dan menimbulkan aktivasi enzim dalam sel limfosit T sehingga terjadi
transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel Th aktif dan sel
Tc memori. Sel Th aktif ini dapat merangsang sel Tc untuk mengenal antigen dan
mengalami transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel Tc
memori dan sel Tc aktif yang melisis sel target yang telah dihuni antigen. Sel
Tc akan mengenal antigen pada sel target bila berasosiasi dengan molekul MHC
kelas I (lihat Gambar 3-2). Sel Th aktif juga dapat merangsang sel Td untuk
mengalami transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel Td
memori dan sel Td aktif yang melepaskan limfokin yang dapat merekrut makrofag
ke tempat antigen.
Ø Limfokin
Limfokin akan mengaktifkan
makrofag dengan menginduksi pembentukan reseptor Fc dan C3B pada permukaan
makrofag sehingga mempermudah melihat antigen yang telah berikatan dengan
antibodi atau komplemen, dan dengan sendirinya mempermudah fagositosis. Selain
itu limfokin merangsang produksi dan sekresi berbagai enzim serta metabolit
oksigen yang bersifat bakterisid atau sitotoksik terhadap antigen (bakteri,
parasit, dan lain-lain) sehingga meningkatkan daya penghancuran antigen oleh
makrofag.
Ø Aktivitas
lain untuk eliminasi antigen
Bila antigen belum dapat
dilenyapkan maka makrofag dirangsang untuk melepaskan faktor fibrogenik dan
terjadi pembentukan jaringan granuloma serta fibrosis, sehingga penyebaran
dapat dibatasi.
Sel T aktif juga akan merangsang
sel B untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel plasma yang
mensekresi antibodi (lihat bab tentang imunitas humoral). Sebagai hasil akhir
aktivasi ini adalah eliminasi antigen. Selain eliminasi antigen, pemajanan ini
juga menimbulkan sel memori yang kelak bila terpajan lagi dengan antigen serupa
akan cepat berproliferasi dan berdiferensiasi.
Imunitas humoral
Imunitas humoral adalah imunitas
yang diperankan oleh sel limfosit B dengan atau tanpa bantuan sel imunokompeten
lainnya. Tugas sel B akan dilaksanakan oleh imunoglobulin yang disekresi oleh
sel plasma. Terdapat lima kelas imunoglobulin yang kita kenal, yaitu IgM, IgG,
IgA, IgD, dan IgE.
Limfosit B juga berasal dari sel
pluripotensial yang perkembangannya pada mamalia dipengaruhi oleh lingkungan bursa
fabricius dan pada manusia oleh lingkungan hati, sumsum tulang dan
lingkungan yang dinamakan gut-associated lymphoid tissue (GALT). Dalam
perkembangan ini terjadi penataan kembali gen yang produknya merupakan reseptor
antigen pada permukaan membran. Pada sel B ini reseptor antigen merupakan
imunoglobulin permukaan (surface immunoglobulin). Pada mulanya
imunoglobulin permukaan ini adalah kelas IgM, dan pada perkembangan selanjutnya
sel B juga memperlihatkan IgG, IgA dan IgD pada membrannya dengan bagian F(ab)
yang serupa. Perkembangan ini tidak perlu rangsangan antigen hingga semua sel B
matur mempunyai reseptor antigen tertentu.
Ø Pajanan
antigen pada sel B
Antigen akan berikatan dengan
imunoglobulin permukaan sel B dan dengan bantuan sel Th (bagi antigen TD) akan
terjadi aktivasi enzim dalam sel B sedemikian rupa hingga terjadilah
transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel plasma yang
mensekresi antibodi dan membentuk sel B memori. Selain itu, antigen TI dapat
secara langsung mengaktivasi sel B tanpa bantuan sel Th.
Antibodi yang disekresi dapat
menetralkan antigen sehingga infektivitasnya hilang, atau berikatan dengan
antigen sehingga lebih mudah difagosit oleh makrofag dalam proses yang
dinamakan opsonisasi. Kadang fagositosis dapat pula dibantu dengan melibatkan
komplemen yang akan berikatan dengan bagian Fc antibodi sehingga adhesi
kompleks antigen-antibodi pada sel makrofag lebih erat, dan terjadi endositosis
serta penghancuran antigen oleh makrofag. Adhesi kompleks antigen-antibodi
komplemen dapat lebih erat karena makrofag selain mempunyai reseptor Fc juga
mempunyai reseptor C3B yang merupakan hasil aktivasi komplemen.
Selain itu, ikatan antibodi
dengan antigen juga mempermudah lisis oleh sel Tc yang mempunyai reseptor Fc
pada permukaannya. Peristiwa ini disebut antibody-dependent cellular
mediated cytotoxicity (ADCC). Lisis antigen dapat pula terjadi karena
aktivasi komplemen. Komplemen berikatan dengan bagian Fc antibodi sehingga
terjadi aktivasi komplemen yang menyebabkan terjadinya lisis antigen.
Hasil akhir aktivasi sel B
adalah eliminasi antigen dan pembentukan sel memori yang kelak bila terpapar
lagi dengan antigen serupa akan cepat berproliferasi dan berdiferensiasi. Hal
inilah yang diharapkan pada imunisasi. Walaupun sel plasma yang terbentuk tidak
berumur panjang, kadar antibodi spesifik yang cukup tinggi mencapai kadar
protektif dan berlangsung dalam waktu cukup lama dapat diperoleh dengan
vaksinasi tertentu atau infeksi alamiah. Hal ini disebabkan karena adanya
antigen yang tersimpan dalam sel dendrit dalam kelenjar limfe yang akan
dipresentasikan pada sel memori sewaktu-waktu di kemudian hari.
Ø Jumlah
normal sel leukosit.
Leukosit adalah sel darah Yang
mengendung inti, disebut juga sel darahputih. Didalam darah manusia, normal
didapati jumlah leukosit rata-rata 5000-9000 sel/mm3, bila jumlahnya lebih dari
12000, keadaan ini disebut leukositosis, bilakurang dari 5000 disebut
leukopenia. Dilihat dalam mikroskop cahaya maka sel darah putih mempunyai
granula spesifik (granulosit), yang dalam keadaan hidup berupa tetesan setengah
cair, dalam sitoplasmanya dan mempunyai bentuk inti yang bervariasi, Yang tidak
mempunyai granula, sitoplasmanya homogen dengan inti bentuk bulat atau bentuk
ginjal. Terdapat dua jenis leukosit agranuler : linfosit sel kecil, sitoplasma
sedikit; monosit sel agak besar mengandung sitoplasma lebih banyak. Terdapat tiga
jenis leukosir granuler: Neutrofil, Basofil, dan Asidofil (atau eosinofil) yang
dapat dibedakan dengan afinitas granula terhadap zat warna netral basa dan
asam.
Granula dianggap spesifik bila
ia secara tetap terdapat dalam jenis leukosit tertentu dan pada sebagian besar
precursor (pra zatnya). Leukosit mempunyai peranan dalam pertahanan seluler dan
humoral organisme terhadap zat-zat asingan. Leukosit dapat melakukan gerakan
amuboid dan melalui proses diapedesis lekosit dapat meninggalkan kapiler dengan
menerobos antara sel-sel endotel dan menembus kedalam jaringan penyambung.
Jumlah leukosit per mikroliter darah, pada orang dewasa normal adalah
4000-11000, waktu lahir 15000-25000, dan menjelang hari ke empat turun sampai
12000, pada usia 4 tahun sesuai jumlah normal. Variasi kuantitatif dalam
sel-sel darah putih tergantung pada usia. waktu lahir, 4 tahun dan pada usia 14
-15 tahun persentase khas dewasa tercapai. Bila memeriksa variasi Fisiologi dan
Patologi sel-sel darah tidak hanya persentase tetapi juga jumlah absolut
masing-masing jenis per unit volume darah harus diambil.
·
Neutrofil
Neutrofil berkembang dalam
sum-sum tulang dikeluarkan dalam sirkulasi, selsel ini merupakan 60 -70 % dari
leukosit yang beredar. Garis tengah sekitar 12 um, satu inti dan 2-5 lobus.
Sitoplasma yang banyak diisi oleh granula-granula spesifik (0;3-0,8um)
mendekati batas resolusi optik, berwarna salmon pinkoleh campuran jenis
romanovky. Granul pada neutrofil ada dua :
- Azurofilik yang mengandung
enzym lisozom dan peroksidase.
- Granul spesifik lebih kecil
mengandung fosfatase alkali dan zat-zat bakterisidal (protein Kationik) yang
dinamakan fagositin.
Neutrofil jarang mengandung
retikulum endoplasma granuler, sedikit mitokonria, apparatus Golgi rudimenter
dan sedikit granula glikogen. Neutrofil merupakan garis depan pertahanan
seluler terhadap invasi jasad renik, menfagosit partikel kecil dengan aktif.
Adanya asam amino D oksidase dalam granula azurofilik penting dalam penceran
dinding sel bakteri yang mengandung asam amino D. Selama proses fagositosis
dibentuk peroksidase. Mielo peroksidase yang terdapat dalam neutrofil berikatan
dengan peroksida dan halida bekerja pada molekultirosin dinding sel bakteri dan
menghancurkannya. Dibawah pengaruh zat toksik tertentu seperti streptolisin
toksin streptokokus membran granula-granula neutrofil pecah, mengakibatkan
proses pembengkakan diikuti oleh aglutulasiorganel- organel dan destruksi
neutrofil. Neotrofil mempunyai metabolisme yang sangat aktif dan mampu
melakukan glikolisis baik secara arrob maupun anaerob. Kemampuan nautropil
untuk hidup dalam lingkungan anaerob sangat menguntungkan, karena mereka dapat
membunuh bakteri dan membantu membersihkan debris pada jaringan nekrotik.
Fagositosis oleh neutrfil merangsang aktivitas heksosa monofosfat shunt,
meningkatkan glicogenolisis.
·
EOSINOFIL
Jumlah eosinofil hanya 1-4 %
leukosit darah, mempunyai garis tengah 9um (sedikit lebih kecil dari
neutrofil). Inti biasanya berlobus dua, Retikulum endoplasma mitokonria dan
apparatus Golgi kurang berkembang. Mempunyai granula ovoid yang dengan eosin
asidofkik, granula adalah lisosom yang mengandung fosfatae asam, katepsin,
ribonuklase, tapi tidak mengandung lisosim. Eosinofil mempunyai pergerakan
amuboid, dan mampu melakukan fagositosis, lebih lambat tapi lebih selektif
dibanding neutrifil. Eosinofil memfagositosis komplek antigen dan anti bodi,
ini merupakan fungsi eosinofil untuk melakukan fagositosis selektif terhadap
komplek antigen dan antibody. Eosinofil mengandung profibrinolisin, diduga
berperan mempertahankan darah dari pembekuan, khususnya bila keadaan cairnya
diubah oleh proses-proses Patologi. Kortikosteroid akan menimbulkan penurunan
jumlah eosinofil darah dengan cepat.
·
BASOFIL
Basofil jumlahnya 0-% dari
leukosit darah, ukuran garis tengah 12um, inti satu, besar bentuk pilihan
ireguler, umumnya bentuk huruf S, sitoplasma basofil terisi granul yang lebih
besar, dan seringkali granul menutupi inti, granul bentuknya ireguler berwarna
metakromatik, dengan campuran jenis Romanvaki tampak lembayung. Granula basofil
metakromatik dan mensekresi histamin dan heparin, dan keadaan tertentu, basofil
merupakan sel utama pada tempat peradangan ini dinamakan hypersesitivitas kulit
basofil. Hal ini menunjukkan basofil mempunyai hubungan kekebalan.
·
LIMFOSIT
Limfosit merupakan sel yang
sferis, garis tengah 6-8um, 20-30% leukosit darah.Normal, inti relatifbesar,
bulat sedikit cekungan pada satu sisi, kromatin inti padat, anak inti baru
terlihat dengan electron mikroskop. Sitoplasma sedikit sekali, sedikit
basofilik, mengandung granula-granula azurofilik. Yang berwarna ungu dengan
Romonovsky mengandung ribosom bebas dan poliribisom. Klasifikasi lainnya dari
limfosit terlihat dengan ditemuinya tanda-tanda molekuler khusus pada permukaan
membran sel-sel tersebut. Beberapa diantaranya membawa reseptos seperti
imunoglobulin yang mengikat antigen spesifik pada membrannya. Lirnfosit dalam
sirkulasi darah normal dapat berukuran 10-12um ukuran yang lebih besar
disebabkan sitoplasmanya yang lebih banyak. Kadang-kadang disebut dengan
limfosit sedang. Sel limfosit besar yang berada dalam kelenjar getah bening dan
akan tampak dalam darah dalam keadaan Patologis, pada sel limfosit besar ini
inti vasikuler dengan anak inti yang jelas. Limfosit-limfosit dapat digolongkan
berdasarkan asal, struktur halus, surface markers yang berkaitan dengan sifat
imunologisnya, siklus hidup dan fungsi.
·
MONOSIT
Merupakan sel leukosit yang
besar 3-8% dari jumlah leukosit normal, diameter 9-10 um tapi pada sediaan
darah kering diameter mencapai 20um, atau lebih. Inti biasanya eksentris,
adanya lekukan yang dalam berbentuk tapal kuda. Kromatin kurang padat, susunan
lebih fibriler, ini merupakan sifat tetap momosit Sitoplasma relatif banyak
dengan pulasan wrigh berupa bim abu-abu pada sajian kering. Granula azurofil,
merupakan lisosom primer, lebih banyak tapi lebih kecil. Ditemui retikulim
endoplasma sedikit. Juga ribosom, pliribosom sedikit, banyak mitokondria. Apa
ratus Golgi berkembang dengan baik, ditemukan mikrofilamen dan mikrotubulus
pada daerah identasi inti. Monosit ditemui dalam darah, jaingan penyambung, dan
rongga-rongga tubuh. Monosit tergolong fagositik mononuclear (system
retikuloendotel) dan mempunyai tempat-tempat reseptor pada permukaan
membrannya. Untuk imunoglobulin dan komplemen. Monosit beredar melalui aliran
darah, menembus dinding kapiler masuk kedalam jaringan penyambung. DaIam darah
beberapa hari. Dalam jaringan bereaksi dengan limfosit dan memegang peranan
penting dalam pengenalan dan interaksi sel-sel immunocmpetent dengan antigen.
v
RESPON ANTIBODI TERHADAP KANKER DAN
VIRUS POLIO
·
Respon antibodi terhadap tumor.
Tumor ganas/kanker adalah jenis
penyakit yang sangat berbahaya, karena dapat menyebabkan kematian bagi
penderitanya. Sehingga identifikasi prilaku pertumbuhan tumor yang imunogenik
(dapat menstimulasi respon imun) adalah penting dan perlu dilakukan, terutama
untuk tujuan imunoterapi. Melalui simulasi dengan metode Runge Kutta Gill
dapatlah dianalisis pertumbuhan tumor tersebut. Sistem imun CMI
(cell-mediated-immunity) tubuh manusia dapat menghambat dan mengontrol
pertumbuhan tumor secara efektif untuk tumor yang masih berada dalam stadium
praklinik ( Φ tumor ≤ 1cm = 109 sel ) dalam bentuk immunologic-surveillance.
Berdasarkan hasil simulasi diperoleh bahwa respon model sistem CMI yang
dilakukan oleh sel-sel efektor imun Tc, NK dan Ma terhadap tumor padat (dengan
asumsi tumor tumbuh mulai dari l sel hingga mencapai ukuran maksimum 3.10 )
yang tumbuh secara Gompertz akan dapat menghambat pertumbuhan tumor, tetapi
tidak dapat memperkecil ukuran tumor tersebut. Simulasi model respon CMI dalam
interval waktu 20 hari pertama, menunjukkan bahwa pertumbuhan tumor mulai
konstan (± 1,94.105 sel) pada hari yang ke delapan. Sedangkan model sistem CMI
+ ADCC (cell mediated immunity + antibody dependent cell mediated cytotoxicity)
sebagai pengembangan dari model sistem CMI, dapat memberikan hasil simulasi
yang lebih baik, di mana selain pertumbuhan tumor mulai konstan pada hari yang
ke delapan sampai dengan hari yang ke sepuluh (± 2,75.103 sel) juga pertumbuhan
tumor tersebut menjadi menurun eksponensial sampai mencapai ukuran ±1,6.103 sel
tumor pada hari yang ke lima belas, setelah itu tumor tidak tumbuh lagi
(konstan).
Makrofag
telah mengidentifikasikan sel kanker. Ketika melampaui batas menyatukan dengan
sel kanker, makrofag (sel putih yang lebih kecil) akan menyuntkan toksin yang
akan membunuh sel tumor.
·
Respon Imun Terhadap Infeksi Virus Polio.
Respon imun/kekebalan alami
memegang peranan penting dalam penentuan trofisme jaringan dan patogenitas virus polio. Pada tikus transgenik CD155, jaringan non syaraf yang tidak menjadi target replikasi
untuk virus polio menunjukkan peningkatan aktivitas gen yang distimulasi oleh
interferon dan respon interferonnya lebih cepat dibandingkan jaringan syaraf.
Hal ini menimbulkan dugaan adanya peran penting interferon dalam melindungi
jaringan non syaraf tersebut. Ketika tikus transgenik CD155 tersebut di-knock
out interferon alfa-beta-nya, titer virus polio di jaringan non syaraf
meningkat dan terjadi peningkatan frekuensi paralisis dibandingkan dengan tikus transgenik CD155 liar .
Respon sistem kekebalan humoral berperan penting dalam perlindungan dan
kekebalan jangka panjang. Antibodi yang dihasilkan setelah infeksi polio virus
liar, atau setelah vaksinasi dengan vaksin polio oral (OPV/oral poliovirus
vaccine. Ada yang menyebutnya vaksin polio “hidup”) atau IPV (inactivated
polio vaccine, atau ada yang menyebutnya vaksin polio “mati”) dapat
mencegah terjadinya poliomielitis karena mencegah terjadinya viremia, sehingga mencegah infeksi pada sistem syaraf pusat. Dibandingkan IPV, infeksi
virus polio liar atau vaksin polio oral akan menghasilkan produksi IgG
sirkulasi yang lebih banyak dan juga sekresi IgA di usus halus. Akibatnya dosis
yang dibutuhkan oleh virus polio untuk melakukan re-infeksi akan mengalami
peningkatan. Selain itu, jika terjadi re-infeksi, jumlah dan durasi pengeluaran virus polio di tinja akan
menurun. Jumlah dan durasi pengeluaran virus polio di tinja ini berperan besar
dalam proses penyebaran virus polio. Makin banyak dan makin lama
virus polio dikeluarkan via tinja oleh si penderita, maka resiko penyebarannya
akan semakin besar.
Selain respon sistem kekebalan
humoral, sistem kekebalan seluler mungkin juga berperan besar dalam menghadapi
infeksi virus polio. Secara teoritik, sel T CD4+ membantu sel B dalam respon
kekebalan humoral. Sel T sitolitik mungkin mempunyai peranan dalam proses
pembersihan virus secara langsung dengan cara melisiskan seln yang terinfeksi
virus. Sel T gamma atau delta dan sel NK (yang merupakan bagian dari respon
kekebalan alami) mungkin berperan dalam respon kekebalan adaptif sel T.
Meskipun begitu, bagaimana sebenarnya mekanisme sistem kekebalan seluler dalam
menghadapi infeksi virus polio masih belum jelas.
v REGULASI RESPONS IMUN
Setelah antigen dapat
dieliminasi, maka agar tidak terjadi aktivasi sistem imun yang tak terkendali,
maka diperlukan adanya regulasi respons imun. Ada 3 macam mekanisme tubuh untuk
meregulasi respons imun yang sudah terjadi.
·
Regulasi oleh antibodi yang terbentuk
Antibodi yang terbentuk akibat
paparan antigen dapat mempengaruhi produksi antibodi selanjutnya. Pada waktu
kadar antibodi masih rendah, yaitu pada waktu tahap respons permulaan, antibodi
yang terbentuk akan merangsang sel B yang mempunyai kapasitas memproduksi
antibodi dengan afinitas tinggi. Jadi antibodi yang baru terbentuk merupakan
faktor penting untuk mendorong proses maturasi afinitas. Hal ini terjadi karena
antibodi yang terbentuk akan berkompetisi dengan reseptor antigen pada sel B untuk
mengikat antigen, sehingga yang terangsang adalah sel B yang mempunyai daya
ikat tinggi terhadap antigen atau berafinitas tinggi, karena itu antibodi yang
dihasilkan juga berafinitas tinggi.
Adanya efek antibodi seperti
tersebut dipengaruhi oleh tipe isotip antibodi. Umumnya IgM mempunyai tendensi
untuk meningkatkan produksi antibodi, tetapi IgG lebih sering bersifat
supresif. Di samping itu, pada tahap respons permulaan, pada saat rasio antigen
masih lebih besar daripada antibodi, maka adanya antibodi akan mempermudah
kompleks Ag-Ab terfiksasi pada sel makrofag melalui reseptor Fc, hingga dapat
dipresentasikan pada sel Th yang kemudian merangsang sel B membentuk antibodi.
Jadi pada permulaan terjadi peningkatan jumlah maupun afinitas antibodi. Tetapi
bila antibodi sudah ada dalam konsentrasi tinggi, yaitu setelah mencapai jumlah
cukup untuk menetralkan antigen yang ada, antibodi akan merupakan umpan balik
negatif agar tidak terbentuk antibodi yang sama lebih lanjut. Hal ini terjadi
karena dengan terikatnya bagian F(ab)2 antibodi pada epitop antigen maka
reseptor antigen pada sel B tidak akan terangsang lagi oleh epitop antigen
tersebut, sehingga tidak terjadi aktivasi dan priming sel B terhambat
(lihat Gambar 3-3).
Di samping itu, antibodi yang
bertambah dapat pula merupakan umpan balik negatif melalui bagian Fc-nya. Sel B
selain mempunyai reseptor antigen juga mempunyai reseptor Fc. Dengan terikatnya
antibodi pada reseptor Fc sel B, maka epitop antigen yang terikat pada reseptor
antigen pada sel B tidak dapat mengadakan bridging oleh karena adanya
gabungan silang antara reseptor antigen dan reseptor Fc, sehingga tidak terjadi
aktivasi sel B (lihat Gambar 3-4). Tidak adanya bridging antara suatu
reseptor antigen dengan reseptor antigen lainnya pada sel B mengakibatkan tidak
terjadinya aktivasi enzim, sehingga sel B tidak terangsang untuk mengalami
transformasi blast, berproliferasi dan berdiferensiasi, dan akibatnya
pembentukan antibodi makin lama makin berkurang.
·
Regulasi idiotip spesifik
Akibat stimulasi antigen
terhadap sel B akan terbentuk antibodi yang makin lama makin bertambah. Pada
kadar tertentu, idiotip dari antibodi tersebut akan bertindak sebagai stimulus
imunogenik yang mengakibatkan terbentuknya anti-idiotip. Dasar reaksi ini
sebenarnya belum jelas karena merupakan kontradiksi dari self tolerance. Tetapi
fakta memang membuktikan adanya limfosit yang dapat mengenal dan bereaksi
dengan idiotip antibodi, karena ada limfosit yang mempunyai reseptor untuk
idiotip ini. Anti-idiotip yang terbentuk juga mempunyai idiotip hingga akan
merangsang terbentuknya anti-idiotip, dan seterusnya.
Pada binatang adanya
anti-idiotip ini terlihat pada waktu fase respons imun mulai menurun.
Anti-idiotip yang terbentuk dengan sendirinya mirip antigen asal, karena itu dinamakan
internal image dari antigen asal. Tetapi adanya antibodi anti-idiotip
ini pada respons imun yang normal tidak akan merangsang kembali terjadinya
antibodi terhadap antigen asal. Terbentuknya anti-idiotip berturut-turut
mengakibatkan jumlah antibodi makin lama makin berkurang. Dapat dipersamakan
seperti batu yang jatuh ke dalam ir dan menimbulkan
gelembung air yang makin lama makin menghilang. Regulasi
melalui pembentukan anti-idiotip adalah regulasi untuk menurunkan respons imun
(down regulation) yang dikenal sebagai jaringan imunoregulator dari
Jerne (1974).
·
Regulasi oleh sel T supresor (Ts)
Dalam tubuh kita terdapat
limfosit yang dapat meregulasi limfosit lainnya untuk meningkatkan fungsinya
yang dinamakan sel T helper (Th = CD4). Selain itu terdapat juga
limfosit yang menekan respons imun yang terjadi secara spesifik yang dinamakan
sel T supresor (Ts = CD8). Sel Ts dapat juga diaktifkan pada respons imun
normal dengan tujuan mencegah respons imun yang tak terkendali. Bagaimana cara
sel Ts melakukan tugasnya belumlah jelas, tetapi secara in vitro dapat
diketahui bahwa pada aktivasi sel Ts akan dilepaskan faktor spesifik yang akan
menekan respons imun yang sedang berlangsung.
Sel Ts dapat diaktifkan melalui
tiga cara, yaitu 1) oleh antigen yang merangsang respons imun itu sendiri.
Antigen merangsang CD4 yang 2H4+ 4B4- untuk mengeluarkan faktor supresi antigen
spesifik yang akan merangsang sel Ts untuk menekan sel efektor, 2) oleh antigen
yang mengadakan bridging antara sel Ts dengan sel limfosit lainnya,
seperti sel B dan sel Th, sehingga Ts menekan aktivasi sel B dan sel Th, 3)
oleh sel B atau sel Th yang mempunyai reseptor idiotip dari idiotip sel Ts,
sehingga sel Ts menekan aktivasi sel B dan sel Th.
v
PERKEMBANGAN LIMFOSlT DALAM
PROSES IMUN
Seperti kita ketahui bahwa
limfosit yang bersikulasi terutama berasal dari timus dan organ limfoid
perifer, limpa, limfonodus, tonsil dan sebagainya. Akan tetapi mungkin semua
sel pregenitor limfosit berasal dari sum-sum tulang, beberapa diantara limfositnya
yang secara relatif tidak mengalami diferensiasi ini bermigrasi ke timus, lalu
memperbanyak diri, disini sel limfosit ini memperoleh sifat limfosit T,
kemudian dapat masuk kembali kedalam aliran darah, kembali kedalam sum-sum
tulang atau ke organ limfoid perifer dan dapat hidup beberapa bulan atau tahun.
Sel-sel T bertanggung jawab terhadap reaksi immune seluler dan mempunyai
reseptor permukaan yang spesifik untuk mengenal antigen asing. Limfosit lain
tetap diam disum-sum tulang berdiferensiasi menjadi limfosit B berdiam dan
berkemban.didalam kompertemenya sendiri. Sel B bertugas untuk memproduksi
antibody humoral antibody response yang beredar dalam peredaran darah dan
mengikat secara khusus dengan antigen asing yang menyebabkan antigen asing
tersalutantibody, kompleks ini mempertinggi fagositosis, lisis sel dan sel
pembunuh (killer sel atau sel K) dari organisme yang menyerang. Sel T dan sel B
secara marfologis hanya dapat dibedakan ketika diaktifkan oleh antigen. Tahap
akhir dari diferensiasi sel-sel B yang diaktifkan berwujud sebagai sel plasma.
Sel plasma mempunyai retikulum endoplasma kasar yang luas yang penuh dengan
molekul-molekul antibody, sel T yang diaktifkan mempunyai sedikit endoplasma
yang kasar tapi penuh dengan ribosom bebas.
·
Terjadinya respon imun dari tubuh.
Kepekaan tubuh terhadap benda
asing (antigen 0 akan menimbulkan reaksi tubuh yang dikenal sebagai Respon imun
Respon imun ini mempunyai dampak positif terhadap, tubuh yaitu dengan timbulnya
suatu proses imunisasi kekebalan tubuh terhadap antigen tersebut, dan dampak
negatifnya berupa reaksi hypersensitifitas. Hypersensitifitas merupakan reaksi
yang berlebihan dari tubuh terhadap antigen dimana akan mengganggu fungsi
sistem imun yang menimbulkan efek protektif yaitumerusak jaringan. Proses
kerusakan yang paling cepat terjadi berupa degranulasi sel dan derifatnya
(antara lain sel basofil, set Mast dan sel plasma) yang melepaskan
mediator-mediatonya yaitu histamin, serotonin, bradikinin, SRS=A, lekotrin
Eusinohil chemotactic Factor (ECF) dan sebagainya. Reaksi tubuh terhadap
pelepasan mediator ini menimbulkan penyakit berupa asthma bronchial, rhinitis
aIergika, urtikaria, diaree dan bisa menimbulkan shock. Secara lambat akan
terjadi reaksi kerusakan jaringan berupa sitolisis dari sel-sel darah merah
sitotokis terhadap organ tubuh seperti ginjal (glomeruloneftitis), serum
siknesdermatitis kontak, reaksi tuberculin dan sebagainya, rheumatoid
arthritis. coom dan gell membagi 4 jenis sesitifitas, dimana dapat dilihat apa
yang terjadi pada sel-sel leukosit. Pada type I (padareaksi anafilaktik)
terjadi antigen bergabung dengan IgE (imunoglobin tipe E-antibodies tipe E)
yang terikat pada mast sel -sel basofil dan sel plasma. Reaksi terhadap tubuh
terjadi dalam beberapa menit.
Pada type II (pada reaksi
sititoksik) dimana antigen mengikat diri pada membran sel, yang pada
penggabungan anti gen mengikat IgG atau IgM yang bebas dalam cairan tubuh akan
menghancurkan sel yang mengikat anti gen tersebut. Reaksi ini terdapat pada
tranfusi darah, anemia hemolitika.
Pada Type III ( reaksi artrhus )
merupakan reaksi anti gen dan antibody komplek dimana gen bergabung dengan IgG
atau IgM menjadi suatu komplek, yang mengikat diri antara lain sel-sel ginjal,
paru-paru dan sendi. Terjadilah aktifitas dari komplemen (komplemen protein
dalam darah) dan pelepasan zat-toksis. Ditemui pada glomerulo nephritis, serum
scness, rheumatk arthritis.
Type IV ( delayed ), antigen
merupakan sel protein atau sel asing yang bereaksi dengan limfosit, limfosit
melepaskan mediator aktif yaitu limfokin, terjadi reaksi pada kulit, reaksi
pada tranplantasi, reaksi tuberculin dan dermatitis kontak.
v
IMONOPATOGENESIS.
Pada Imunopatologi menjelaskan
bahwa reaksi alergi diawali dengan tahap sensit, kemudian diikuti reaksi ale
yang terlepas dari sel-sel mast (mastosit) dan atau sel basofil yang berkontak
ulang dengan allergen spesifiknya (IS hizaka, Tomiko dan Ishizaka 1971). Saat
ini lebih jelas terutama pada rhinitis alergika diketahui terdiri dari dua fase
(Kaliner 1987, Lichtensin 1988, pertama reaksi alergi fase cepat (RAFC,immediet
phas-allergic reaction), berlangsung sampai satu jam setelah berkontak alergan
kedua, reaksi alergis fase lambat (RAFL, Late phase allergic reaction) yang
berlangsung sampai 24 jam bahkan sampai 48 jam kemudian, dengan puncak reaksi
pada 4 – 8 jam pertama.
1. Tahap Sensitasi
Pada awal reaksi alergis
sebenarnya dimulai dengan respon pengenalan alergan/antigen oleh sel darah
putih yang dinamai sel makrofag, monosit (Brown dkk, 1991) dan atau sel
denritik (Mc William, 1996) Sel-sel tersebut berperan sebagai sel penyaji
(antigen presenting cells, sel APC) dan berada dimukosa (dalam dimukosa
hidung), antigen/allergen yang menempel pada permukaan mukosa ditangkap oleh
sel APC, setelah melalui proses internal dalam sel APC, dari malergen tersebut
terbentuk fragmen pendek peptida imunogenik, Frakmen ini bergabung dengan
molekul HLA = kelas II @B heterodimer dalam endoplasmic reticullum sel APC.
Penggabungan yang terjadi akan membentuk komplek peptide-MHC-class II (mayor histocompatibility
comlolex class II) yang kemudian dipresentasikan dipermukaan sel APC; kepada
salah satu limfosit T yaitu Holper-T cell (klon T-CD4 +, dimana Tho), jika
selanjutnya tho ini memiliki molekul reseptor spesifik terhadap molekul komplek
peptide –MHC-II maka akan terjadi penggabungan kedua molekul tersebut. Akibat
selanjutnya sel APC akan melepas sitokin Salah satunya Interkulin – I
(IL-I),sitokin akan mempengaruhi limfosit jenis T-CD4 + (Tho) yang jika sinyal
kostimulator (pro-inflamotori second Signal) induksinya cukup memadai, maka
akan terjadi aktivasi dan proliferasi sel Tho menjadi Th2 dan Th1; sel ini akan
memproduksi sitokin yang mempunyai spectrum luas sebagai molekulimunoregulator,
antara lain interleukin-3 (IL-3), IL-4, IL-5 dan IL-13. Sitokin IL-4 dan IL-13
akan ditangkap resepiornya pada permukaan limfisit B istirahat (resting B sel),
sehingga terjadi aktivasi limfosit B. Limfosit B ini memproduksi imunoglobulin
E (IgE), sedangkan IL-13 dapat berperan sendiri dalam keadaan IL-4 rendah (Naclerio
dkk, 1985, Geha, 1988), sehingga molekul IgE akan melimpah dan berada di mukosa
atau peredaran darah.
2. Reaksi Alergis
Molekul IgE yang beredar dalam
sirkulasi darah akan memasuki jaringan dan akan ditangkap oleh reseptor IgE
yang berada pada permukaan sel metacromatik (mastosit atau sel basofil),
sel ini menjadi aktif. Apabila dua light chain IgE berkonta dengan allergen
spesifiknya maka akan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel)
mastosit/basofil dan akibainya terlepas mediator-mediator alergis. Reaksi
alergis yang segera terjadi akibat histamin tersebut dinamakan reaksi alergi
fase cepat (RAFC )yang mencapai puncaknya pada 15-20 menit pada paparan alergen
dan berakhir pada sekitar 60 menit kemudian. Sepanjang RAFC mastosit juga
melepaskan molekul-molekul kemotaktik (penarik sel darah putih ke organ
sasaran). Reaksi alergis fase cepat dapat berlanjut terus sebagai reaksi alergi
fase lambat (RAFL) sampai 24 bahkan 48 jam kemudian (Kaliner 1987. Lichtenstein
1988). Tanda khas RAFL adalah terlihatnya pertambahan jenis dan jumlah sel-sel
inflamasi yang berakumulasi (berkumpul) di jaringan sasaran. Sepanjang RAFL
(creticos 1998) sel eosiinofil aktif akan melepas berbagai mediator, antara
lain basic protein, leukotriens cytokines, Sedangkan basofil akan melepas
histamin, leukotriens dan cytokines.
Disamping itu berbagai sel
mononuclear akan melepas histamin releasing factors (HRFs) Yang akan memacu
mastosit dan basofil dan melepas histamin lebih banyak lagi. Sepanjang reaksi
alergi fase cepat (RAFC) dan reaksi alergi fase lambat (RAFL) sel-sel inflamasi
dilepaskan sebagai prodak protein yang merupakan hasil kenerja DNA sel-sel
inflamasi tersebut yang dapat dibagi dalam tiga jenis, Gran dkk 1991;Bocher
dkk; Coffman 1994 schleimer dkk 199. Durham and Till 1998 Greticos 1998; Nel
dkk 1998. Mediator-mediator mastosit / basofil dan eosinofil, histamin,
prostaglandin, Leukotrien, ECFA,(eosinofi chemotactic factorof anaphylactic)
NCFA (Neutrophil chematactic factor of anaphylactic), dan kinin. Mediator yang berasal
dari sel eosinofil. PAF,LTB4,C5a kemoaktraktan. LTC4 PAF, ECP;. Molekul-molekul
sitokin inductor/stimulator/aktivalator RIA yang terdiri atas, IL-44 dan IL-33
yang mempengaruhi limfosit B dalam memproduksi IgE. IL-3 dan IL-4 mempengaruhi
basofil memproduksi histamin. LTs dan sitokin-sitokin. IL-3 dan IL-5
mempengaruhi sel eosinofil dalam memproduksi protein-protein basa LTs dan
sitokin. HRFs yang mempengaruhi mastosit dan basofil melepas histamin lebih
banyak lagi. IL-4 mempengaruhi epitel, IL-13 mempengaruhii endotel dalam
memproduksi VCAM (Vascular cell adhesion molecule). Molekul-molekul
activator/survival sel eosinofil, GM=CSF dan IL-3 IL-3 dan IL-5 (inerleukin-3
dan interleukin-5) Fibronektin Molekul sitokin kemoaktraktan bagi sel
eosinofil. IL-5 IL-3.GM=CSF,IL-8 Lain-lain Interaksi
EOS aktif dan epitel mukosa hidung membentuk IL-8, RNTES dan GGM=CSF.
Molekul-molekul protein utama produk sel-sel inflamasi, sel endotel dan mukosa
yang berperan langsung menimbulkan alergi adalah antara lain; histamin,
leukotrien, prostak landing, kinin, platelet e activating factor (PAF), sitokin
dan kimokin. Histamin, dapat menggunakan H2
reseptor-mediated-antiinflmnatoriyactivity meliputi inhibisi penglepasan enzin
lisosomal neutrfil, inhibisi pelepasan histamin dari leukosit perifer, dan
aktivasi suppressor T-lymllocytes ( Metcalfe et al, 1981, cit White 1999).
Histamin menggunakan efeknya pada berbagai sel seperti sel oto polos, neuron,
sel-sel kelenjar (endokrin dan Eksokrin, sel-sel darah, dan sel-sel sistem imun
(pearce 1991, cit White 1999), Histamin merupakan vasodilator, konstruktor otot
polos, stimulsn pennabilitas vaskuler yang kuat, stimulan sekresi kelenjar
mukosa saluran nafas dansekresi kelenjar lambung. (White 1999). Leukotrien
diproduksi oleh berbagai sel inflanlasi seperti mastosit basofil, eosinofil,
neutrofil dan monosit. Prostaglandin, berasal dari pecahan arachodonic acid
membran sel yang paling banyak diproduksi oleh mastosit paru-paru PGD2 (White
1999). Seperti kita ketahui bahwa efek biologis dari prostaglandin adalah,
memodulasi kontraksi otot polos, penurunan permeabbilitas vaskuler, rasa gatal
dan nyeri, dan agregasi serta degranulasi platelet.(trombosit). Kinin merupakan
hormon peptida yang kuat terbentuk de novo dalam cairan tubuh dan jaringan
sepanjang inflamasi. Tiga jenis-jenis kinin yang penting dalam tubuh adalah
bredykinin, kallilidin (Iysbradykinin) dan met-lys bradykinin. Pada reaksi
inflamasi alergi dalam hidung kinin sangat banyak ditemukan. Platelet
activating factor (PAF) merupakan sebuah ether-linked phospholipid. PAF
diproduksi oleh mastosit, macrofag dan eosinofil.
Aktifitas biologisnya meliputi
pletelet aktivasi neutrofil,dan kontraksi otot palos, PAF juga merangsang
akumulasi eosinofil ke permukaan endothelium yang merupakan langkah awal
pengerahan eosinofil kedalam jaringan. PAF memacu eosinofil untuk melepas
berbagai protein basa yang menyebabkan peningkatan kerusakan mukosa (terutama
oleh MBP) dan menyebabkan peningkatan ekspresi low-affiniti IgE reseptors pada
eosinofil dan monosit. PAF banyak dibentuk oleh sel eosinofil yang dapat
menarik sel eosinofil lainya memasuki jaringan.
Sitikin (cytokine) memainkan
peran yang penting sepanjang reaksi alergi fase lambat, mastosit adalah sumber
dari sitokin multifungsi ( Bradding et al 1996) cit White 1999 antara lain:
1. Aktifitas sel-sel inflasi (makrofag,
selT, sel B dan eosinofil) diatur oleh IL=1, IL-4, IL-5, IL-6, TNF- dan GM=CSF.
2. Pertumbuhan dan proliferasi sel B,
dan pertumbuhan sel-T-helfer ditingkatkan oleh IL-1.
3. IL-2 memacu proliferasi limfosit T dan aktivasi Limfosit B
4. IL- menyebabkan diferensiasi
limfosit B menjadi IgE sekresing plasmasel dan bersama TNF-@ meninkatkan
pengaturan ekpresi high-dan low affinity IgE reseptor pada sel-sel APC.
5. IL-5
menyebabkan aktivasi limfosit B, diferensiasi dan pemanjangan umur eosinofil.
Leukosit dan turunannya
merupakan sel dan struktur dalam tubuh manusia yang didistribusikan keseluruh
tubuh dengan fungsi utamanya melindungi organismo terhadap invasi dan
pengrusakan oleh mikro organisme dan benda asing lainnya. Sel-sel limfosit ini,
mempunyai kemampuan untuk membedakan dirinya sendiri (makromolekuler organisme
sendiri) dari yang bukan diri sendiri (benda asing) dan mengatur penghancuran
dan inaktivasi dari benda asing yang mungkin merupakan molekul yang terisolasi
atau bagian dari mikro organisme Semua leukosit berasal dari sum-sum tulang.
kemudian mengalami kematangan pada organ limfoid lainnya.
BAB III
KELAINAN-KELAINAN SISTEM
IMUN
ü KELAINAN SISTEM IMUN: ALERGI
Alergi, kadang disebut
hipersensitivitas, disebabkan respon imun terhadap antigen. Antigen yang memicu
alergi disebut allergen. Reaksi alregi terbagi atas 2 jenus yaitu:reaksi alergi
langsung dan reaksi alergi tertunda. Reaksi alergi langsung disebabkan mekanisme
imunitas humoral. Reaksi ini disebabkan oleh prosuksi antibodi IgE berlebihan
saat seseorang terkena antigen. Antibodi IgE tertempel pada sel Mast,leukosit
yang memiliki senyawa histamin. Sel mAst banyak terdapat pada paru-paru
sehingga saat antibodi IgE menempel pada sel Mast, Histamin dikeluarkan dan
menyebabkan bersin-bersin dan mata berair. Reaksi alergi tertunda disebabkan
oleh perantara sel. Contoh yang ekstrim adalah saat makrofag tidak dapat
menelan antigen atau menghancurkannya. Akhirnya Limfosit T segera memicu
pembengkakan pada jaringan.
ü
KELAINAN SISTEM IMUN: PENOLAKAN ORGAN
TRANSPLANTASI
Sistem imun menyerang sesuatu
yang dianggap asing di dalam tubuh individu normal, yang diserang adalah organ
transplantasi. Saat organ ditransplantasikan, MHC organ donor dikenali sebagai
senyawa sing dan kemudian diserang. Untuk mengatasi hal ini, ilmuwan mencari
donor transplantasi yang MHC punya banyak kesamaan dengan milik si resipien.
Resipien organ tranplantasi juga diberi obat untuk menekan sistem imun mereka
dan menghindarkan penolakan dari organ transplantasi.
Jika organ tranplantasi
mengandung Limfosit T yang berbeda jenisnya dengan Limfosit T milik donor
seperti pada cangkok sumsum tulang, Limfosit T dari organ tranplantasi ini bisa
saja menyerang organ dan jaringan donor. Unutk mengatasi hal ini, ilmuwan
meminimalisir reaksi graft versus host(GVH) dengan cara menghilangkan semua
Limfosit T dewasa sebelum dilakukan tranplantasi.
ü
KELAINAN SITEM IMUN: DEFISIENSI IMUN
Salah satu penyakit defisiensi
sistem imun yaitu AIDS(Acquired Immune deficiency Syndrome) yang disebabkan
oleh HIV(Human Immunodeficiency Virus). HIV menyerang Limfosit T pembantu
karena Limfosit T pembantu mengatur jalannya kontrol sistem imun. Dengan
diserangkan Limfosit T pembantu, maka pertahanan tubuh akan menjadi lemah.
Defisiensi sistem imun dapata terjadi karena radiasi yang menyebabkan turunnya
produksi limfosit. Sindrom DiGeorge adalah kelainan sistem imun yang disebabkan
karena penderita tidak punya timus dan tidak dapat memproduksi Limfosit T
dewasa. Orang dengan kelainan ini hanya bisa mengandalkan imunitas humoralnya
secara terbatas dan imunitas diperantarai selnya sangat terbatas. Contoh
ekstrim penyakit defisiensi sistem imun yang diturunkan secara genetika adalah
Severe Combined Immuno Deficiency(SCIED). Penderita SCID tidak punya Limfosit B
dan T maka ia harus diisolasi dari lingkungan luar dan hidup dengan betul-betul
steril karena mereka bisa saja mati disebabkan oleh infeksi.
ü
KELAINAN SISTEM IMUN: PENYAKIT AUTOIMUN
Autoimunitas adalah respon imun
tubuh yang berbalik menyerang organ dan jaringan sendiri. Autoimunitas bisa
terjadi pada respon imun humoral atau imunitas diperantarai sel. Sebagai
contoh, penyakit diabetes tipe 1 terjadi karena tubuh membuat antibodi yang
menghancurkan insulin sehingga tubuh penderita tidak bisa membuat gula. Pada
myasthenia gravis, sistem imun membuat antibodi yang menyerang jaringan normal
seperti neuromuscular dan menyebabkan paralisis dan lemah. Pada demam
rheumatik, antibodi menyerang jantung dan bisa menyebabkan kerusakan jantung
permanen. Pada Lupus Erythematosus sistemik, biasa disebut lupus, antibodi
menyerang berbagai jaringan yang berbeda, menyebabkan gejala yang menyebar.
BAB IV
PENUTUP
ü Kesimpulan
Imunologi
adalah cabang yang luas dari ilmu biomedis yang mencakup studi tentang semua
aspek dari sistem kekebalan tubuh dalam semua organisme. Banyak komponen dari
sistem kekebalan tubuh sebenarnya seluler di alam dan tidak berhubungan dengan
organ tertentu melainkan tertanam atau beredar di berbagai jaringan di seluruh
tubuh. Mempunyai 2 macam mekanisme, yaitu : mekanisme pertahanan spesifik dan
mekanisme pertahanan non spesifik. Walaupun sistem imun mempunyai efek positif
pada tubuh kita tapi juga bisa mempunyai efek negative. Efek negative yang di
maksud adalah, antara lain : alergi, penolakan organ tranplantasi, defisiensi
system imun, dan penyakit autoimun.
Semoga makalah ini bermanfaat
bagi para pembaca. Kami dari kelompok 1 mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca, karena kami yakin bahwa makalh yang telah kami garap tidaklah sempurna
dan memiliki banyak kesalahan.
Sukorejo, 7
Januari 2012
Kelompok I
DAFTAR PUSTAKA
Baratawijaya, karnen,.1996. Immunologi Dasar.
Jakarta : gaya baru
Jawetz,.2007.Mikrobiologi
Kedokteran.Jakarta : EGC
http ://.www.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar